Lewat cinta semua yang pahit menjadi manis
Lewat cinta semua yang tembaga menjadi emas
Lewat cinta semua yang endapan akan menjadi anggur murni
Lewat cinta semua kesedihan akan jadi obat
Lewat cinta semuanya raja jadi budak
(Jalaludin Rumi)
Dalam
meletakkan cinta diperlukan kecerdasan ruhani, mereka yang memiliki kecerdasan
ruhani tentunya memiliki prinsip yang menampilkan sosok dirinya sebagai insan
yang berakhlaq, mereka tau bagaimana cara meletakkan cinta.
Para
ahli tasawuf yaitu ahli syufi atau arif-billah berlandaskan Al-Qur’an dan
Al-Hadits dengan lugas menjawab :
Mencintai pemilik dan pemberi hiasa jauh lebih muliadan jauh lebih berhargadibanding mencintai sekedar hiasa saja.
Ibarat
secarik surat atau sapu-tangan seorang kekasih, tidak seberapa berarti
dibanding mencintai si pemilik surat atau sapu-tangan itu sendiri.
Ada
riwayat ketika Sayidina Husain (Cucu Rasulullah SAW) masih kecil bertanya
kepada ayahnya (Ali kwh), “ Apakah engkau mencintai Allah ?” Ali kwh menjawab,
“Ya”. Lalu Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai Kakek dan Ibu?” Ali
ra kembali menjawab, “Ya”. Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai
Ibuku?” Lagi-lagi Ali menjawab, “Ya”. Husain kecil kembali bertanya : “Apakah
engkau mencintaiku?” Ali menjawab, “Ya”.
Terakhir,
Husain yang masih polos situ bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan
begitu banyak cinta dihatimu?” Kemudian Sayidina Ali menjelaskan : “Anakku,
pertanyaanmu hebat ! Cintaku pada Kakek dari Ibumu (Fatimah ra) dan kamu
sendiri adalah karena cinta kepada Allah”. Sesungguhnya semua cinta itu adalah
cabang-cabang cinta kepada Allah SWT. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya
Husain jadi tersenyum mengerti.
Interprestasi
yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka sangat
menekankan metode dalam permasalahan yang bersifat ILahiyah. Mahabbah adalah
inti sari ajaran cinta yang ditulis dengan balutan rindu, sentuhan qalbu dan
goresan pena dari tinta kesetiaan yang merebakkan sayap ketulusan, dan didalam
mahabbah terdapat rahasia (sir) tiada yang mengetahui melainkan hamba yang
mengalaminya.
Kaum
syufi berkata, Mahabbatullah Yang Mahasuci untuk hamba ialah puji-Nya,
untuk-Nya dan puji-Nya terhadap hamba dengan keindahan. Adapun cinta hamba
untuk Allah ialah suatu keadaan, dimana hamba mendapatkan dan merasakan cinta
itu dari hatinya suatu perasaan yang amat halus yang sulit untuk bisa
digambarkan.
Dalam
konteks cinta ILahi ini kaum syufi memakai landasan dan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sebagaimana Firman-Nya dalam Al-Qur’an :
“…Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya…” (QS.Al-Maa’idah, 5:54).
Katakanlah
: ”Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali “Imran, 3:31).
Kedua
ayat ini menempati posisi paling penting dalam budaya “bercinta” seorang syufi,
karena secara tersirat ataupun tersurat, keduanya mengisyaratkan bahwa cinta
yang terjadi antara Tuhan dan mahluk-Nya adalah sebuah keniscayaan, pasti terjadi.
Namun,
bukan berarti cinta itu terjalin begitu saja melainkan buah dari hasil
mujahadah dan riyadhah yang continu dan berkualitas.
Berangkat
dari sini maka kaum syufi memproklamirkan budaya cinta mereka. Kemudian
mengenai konsep Mahabbah secara garis lurus seorang hamba kepada Khaliqnya,
menurut penulis sangatlah relative, sebab barang siapa tidak mengalaminya maka
tidak akan merasakannya.
Abu
Yazid Al-Bustami sering mengatakan :
“Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada kekasih meskipun apa yang dimilikinya besar baginya, dan menganggap besar apa yang diperoleh kekasih, meskipun sedikit”.
Perkataan
arif ini dapat kita artikan bahwa diantara cirri-ciri orang yang mencintai
Allah, adalah :
1.
rela berkorban sebesar apa pun demi kekasih. Cinta memang identik dengan
pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun.
Hal ini sudah
dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW, waktu ditawari kedudukan mulian oleh pemuda
Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang
menyala-nyala pada Allah SWT, Rasulullah mengatakan kepada Pamannya : “Wahai
pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan ditangan kananku dan
rembulan ditangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku
tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa”.
2.
selalu bersyukur dan menerima apa-apa yang diberikan Allah. Bahkan ia akan
selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya.
Raja Andalusia, Al-Hikam bin Hisyam
bin Abdurrahman Ad-Dakhil, bersyair :
Karena cinta……….
Ia menjadi hamba
Padahal sebelumnya ia adalah raja
Kegirangan istana tiada lagi menyertai
Ia di puncak gunung menyendiri sendiri
Pipi tertempel ditanah berdebu
Seakan bantal-bantal sutra untuk bertumpu
Begitulah kehinaan menimpa orang merdeka
Jika cinta melanda, ia laksana hamba sahaya.
Sumber
: Buku WUJUD
“Kenali-Lah Tuhan Anda Niscaya Bermanfaat”. Penerbit. CV. Mutiara Kertas.
(Hal:366)
0 Response to "Cinta Karena Allah"
Post a Comment