VIRUS.CINTA - Keluarga itu indah bagai taman bunga,
menebarkan semerbak harum mewangi namun juga sekaligus penuh duri-duri tajam
yang patut diwaspadai.
Duri-duri tajam itu adalah
pertama, persepsi terhadap rizki.
Kedua Egoisme.
Ketiga, Perkembangan psikologis pasangan
hidup.
Maka waspadailah duri-duri tajam dalam
keluarga anda.
Persepsi rizki
Sebenarnya
Allah telah menjamin rizki hambanya, bahkan jika seseorang ingin menikah tetapi
ekonominya masih krang, maka kata al Qur'an nikah saja, Allah yang menjamin
rizkinya.
“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS An Nuur : 32)
Banyak pasangan ketika baru nikah belum
memiliki harta apa-apa, tetapi kemudian mereka hidup berkecukupan. Sebaliknya
ada yang ketika menikah sengaja mencari pasangan atau mertua orang kaya,
ternyata tak terlalu lama sudah jatuh menjadi orang miskin. Ada yang semula
suami lancar sebagai pencari nafkah, tetapi kemudian jatuh sakit berkepanjangan
sehingga tak lagi produktif, kemudian sumber rizki berpindah melalui isteri.
Persoalan saluran rizki bisa menjadi problem ketika orang memandang bahwa
rizki itu hanya rizkinya, bukan rizki keluarga. Suami yang sukses kemudian
menjadi GR (gede rumongso, maksudnya merasa dirinya sangat penting) memandang
rendah isterinya. Ketika saluran rizki pindah lewat isteri, sang isteri juga
kemudian menjadi GR, memandang sebelah mata suami. Inilah yang sering menjadi
kerikil tajam, meski rizki melimpah, padahal sebenarnya rizki itu adalah rizki
bersama sekeluarga.
Egoisme
Sifat egois dan tinggi kadang membuat harga
diri sering mendistorsi persepsi. Ada ungkapan bahwa kata-kata itu tidak punya
arti apa-apa, oranglah yang memberi arti. Ada orang tanpa beban apa-apa membeli
mobil baru karena memang membutuhkan, tetapi tetangganya ada yang memberi arti
sombong, sok, mentang-mentang, tak menenggang perasaan dan sebagainya. Dalam
rumah tangga, sifat egois dan tinggi harga diri sering mengubah keadaan yang
normal menjadi tidak normal, apa yang sebenarnya biasa-biasa saja,
proporsional, dipersepsi sebagai tidak menghargai, menyakiti dan sebagainya,
sehingga apa yang semestinya seiring sejalan berubah menjadi ada yang ngerjain
dan ada yang merasa menjadi korban. Ada isteri atau suami yang merasa selalu
disakiti, padahal tidak ada yang menyakitinya, merasa tidak dihargai, padahal
harga seseorang itu sudah nempel pada dirinya.
Perkembangan psikologis
pasangan hidup
Pada dasarnya kita tidak bisa menghindar dari fitrah kita
sebagai manusia. Setiap hari kita melihat, mendengar dan merasakan sesuatu,
kemudian mempersepsikan dan merespon. Proses Stimulus & Respond. dinamis,
bisa mendewasakan seseorang, bisa juga membuatnya menjadi terganggu
kejiwaannya. Hubungan interpersonal suami dan isteri berlangsung sangat inten,
lama dan peka. Hubungan itu kemudian bisa menumbuhkan kejiwaan mereka secara
seimbang, menjadi sinergi, bisa juga jomplang.
Hubungan interpersonal suami isteri itu
mengandung muatan, partner seksual, partner sosial, dan persahabatan. Pada laki-laki
muatan partner seksualnya itu pada umumnya stabil, partner sosialnya pasang
surut dan partner persahabatanya berjalan lambat. Sedangkan bagi wanita,
muatan partner seksualnya mulai menurun setelah monopouse, yang meningkat
justeru partner sosial dan persahabatan. Pada usia paruh baya, ada suami yang
padanya muncul apa yang disebut sebagai puber kedua dan puber ketiga.
Pada masa puber kedua (usia sekitar 40 tahun) ada kecenderungan lelaki senang
berdekatan dengan gadis belasan tahun, sedang pada puber ketiga (antara usia
50-60 th) lelaki tidak lagi tertarik dengan gadis belia, tetapi lebih suka
berakrab-akrab dengan wanita paruh baya, yakni wanita yang sudah menunjukkan
keberhasilannya sebagai wanita dewasa yang anggun.
Gejala ini sebenarnya normal dan akan reda
dengan sendirinya jika direspond secara proporsional. Tetapi jika oleh
isterinya disalah fahami atau dicaci maki, gejala pubertas ini justru menuntut
aktualisasi. Lantas bagaimana cara mencabut dalam menghadapi 'duri-duri' tajam
dalam keluarga? al-Quran memberikan panduan kepada pasangan keluarga agar
berpegang teguh kepada taqwa ketika sedang mencari pemecahan masalah.
Taqwa menjamin output berupa way out dan rizki,
Taqwa artinya berpegang teguh kepada
kebenaran ilahiyah dan konsisten menghindari larangan Allah, takwa adalah aksi
moral yang integral.
Jadi, sesulit apapun problem, jika dalam
pemecahanya berpijak pada komitmen taqwa maka jalan keluar maupun jalan masuknya
baik, seperti semangat doa "rabbi adkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni
mukhraja shidqin wa ij'al li min ladunka sulthanan nashira." al-Quran
secara khusus memberi membimbing kita agar menggunakan pendekatan ishlah
dan mu'asyarah bi al ma'ruf, mau'idzah dan ihsan. Jika yang dicari
itu islah maka Allah akan menolong, in yurida ishlahan yuwaffiqillahu bainahuma
(Q/4:35). Ishlah mengandung muatan makna shulh (perdamaian) shalih (baik ,
patut dan layak) dan mashlahat (konstruktif). Baik suami maupun isteri harus
mengedepankan niat berdamai, berpikir konstruktif dan tetap menunjukan perilaku
yang patut.
Sumber : http://ow.ly/KNICZ
Sumber : http://ow.ly/KNICZ
0 Response to "Waspadai "Duri" Dalam Sebuah Keluarga"
Post a Comment